Dampak Iklan Rokok terhadap Siswa di Pekanbaru

Dampak Iklan Rokok terhadap Siswa di Pekanbaru

“Selagi Dijual Kami Tak Berhenti Merokok”


Laporan AHMAD FITRI, Pekanbaru

Hari itu, Jumat (15/8) siang sekitar pukul 11 WIB. Sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah (MTs) swasta di Pekanbaru baru saja mengakhiri jam belajarnya. Puluhan siswa dengan busana muslim terlihat bergegas keluar dari sekolah untuk mencari oplet yang akan mengantarkan mereka ke rumah masing-masing. Seperti sekolah lainnya di Pekanbaru, pada hari Jumat setiap siswa diwajibkan memakai busana muslim yang mirip dengan busana khas Melayu. 
   Ketika keluar dari pekarangan sekolah, tidak semua siswa bergegas menunggu oplet. Sebagian mereka mampir dulu ke beberapa warung yang terletak di luar kompleks sekolah itu. Ada yang mampir ke sebuah pedagang kaki lima di tepi jalan di depan sekolah dan ada juga yang mampir ke warung di sebelah sekolah. Tujuan mereka hanya satu ketika itu, membeli sebatang rokok. ’’Aku minta A Mild,’’  kata seorang siswa memesan rokok kepada temannya yang duluan masuk ke warung sempit itu. ’’Aku minta LA Light,’’ ujar siswa lain yang turut memesan.
   Tidak lama berselang masing-masing siswa itu menghidupkan sebatang rokok mereka dengan korek api yang disediakan pemilik warung. Sambil mengisap rokok mereka juga terlihat asyik bersenda gurau di teras warung kelontongan itu. Mereka tidak lama di warung itu, sekitar sepuluh menit berselang di antara mereka ada yang pulang terlebih dahulu ketika oplet berhenti di depan mereka. Namun ada juga yang masih terlihat bertahan sambil mengobrol.
   Rizal, salah seorang siswa yang dihampiri Riau Pos mengutarakan bahwa dirinya sudah merokok sedang duduk di kelas 1 sekolah tersebut. ’’Saya merokok dua batang setiap hari, pagi ketika mau masuk sekolah dan siang saat pulang sekolah. Saya tak perlu banyak merokok, cukup dua batang saja sehari,’’ katanya polos.
   Dia lalu mengisahkan bahwa ketertarikannya dengan rokok diawali ketika sering kumpul dengan teman-temannya setiap malam Minggu. Tradisi kumpul-kumpul ini membuatnya berkenalan dan tertarik dengan rokok. Karena tertarik dengan rokok dia mulai terbiasa merokok dua batang sehari. Biasanya sebelum masuk sekolah Rizal dan teman-teman nongkrong dulu di sebuah penyewaan play station yang terletak tidak jauh dari sekolah tersebut.
   Menurutnya, di sekolah sebenarnya sudah ada larangan merokok bagi siswa-siswanya. Namun banyak siswa yang tidak mengindahkan larangan itu. Kantin yang terletak di belakang gedung sekolah sering dimanfaatkan siswa untuk mengisap daun tembakau tersebut.
   ’’Siswa yang ketahuan merokok oleh guru akan diberikan hukuman. Pernah ada yang ketahuan merokok langsung dihukum dengan disuruh lari mengitari jalan-jalan yang ada di sekitar sekolah. Ada juga siswa yang ketahuan merokok ditampar oleh guru,’’ katanya terus berkisah. 
   Bagi Rizal, sulit baginya untuk meninggalkan kebiasaan ini. Tidak mungkin baginya berhenti merokok, apalagi jika berhenti merokok sampai tiga hari. Namun jika berhenti merokok selama satu hari dinilainya sebuah kewajaran.

***
   Sosok Rizal adalah cerminan remaja yang sudah bisa merokok di usia dini. Rizal tentu saja tidak sendiri, karena masih banyak remaja lain seusianya yang sudah mengonsumsi daun tembakau di usia yang masih muda. Dan bahkan di antara mereka ada yang jauh lebih muda dari lelaki ini.
   Berdasarkan survei yang dilakukan tim Research and Development Riau Pos Group terhadap 90 siswa di enam sekolah di kota Pekanbaru pada September 2008, terlihat betapa banyak siswa yang sudah mengenal rokok ketika mereka baru duduk di bangku Kelas I SMP. Melalui survei yang dilakukan di tiga sekolah setingkat SMP dan tiga sekolah setingkat SMA dengan metode purphosive sampling area ini, diketahui perilaku merokok di kalangan siswa di Pekanbaru.
   Dari 90 siswa yang disurvei, 46,8 persen atau 52 siswa menyatakan sudah pernah merokok. Sisanya 34,2 persen atau 38 siswa menyatakan belum pernah merokok. Dari jumlah 52 siswa yang merokok, 28,8 persen atau 15 siswa menyatakan sudah merokok sejak Kelas I SMP. Dan bahkan ada juga siswa di antaranya yang sudah merokok sejak bangku SD.
   Jika dilihat dari usia siswa mulai merokok, sebagian besar mereka atau 26,9 persen sudah merokok di usia 14-15 tahun. Pada rentang usia ini pada umumnya siswa duduk di bangku SMP. 11,5 persen dari total responden mengaku mulai merokok di usia 10-11 tahun, 25 persen di usia 12-13 tahun dan 23 persen sudah merokok di usia di bawah 15 tahun. Yang cukup mencengangkan ternyata 13,5 persen responden menyatakan sudah merokok ketika berusia di bawah 10 tahun.
   Umumnya siswa perokok hanya mengonsumsi 1-2 batang rokok sehari. Survei ini memperlihatkan 40,3 persen responden menyatakan hanya mengisap rokok sejumlah 1-2 batang sehari. Selain itu 15,4 persen responden menyatakan merokok 3-5 batang sehari. 11,5 persen menyatakan merokok 6-8 batang sehari dan 5,8 persen merokok 9-11 batang sehari. Walaupun jumlah rokok yang mereka isap sebagian besar tergolong kecil jumlahnya, namun terdapat 7,7 persen responden yang mampu merokok satu bungkus sehari.
   Tingginya minat siswa menjadi perokok tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, ”mengapa mereka tertarik merokok?” Sebagian besar responden yaitu mencapai 55,8 persen menyatakan tertarik merokok karena dipengaruhi oleh teman-temannya. Artinya, faktor lingkungan menjadi faktor utama kenapa mereka tertarik merokok. Selebihnya 36,5 persen tertarik merokok karena faktor lainnya. Misalnya karena ingin coba-coba, menghilangkan stres, menenangkan pikiran dan menghilangkan rasa suntuk. Survei ini memperlihatkan hanya 3,8 persen responden yang mengaku tertarik merokok karena dipengaruhi oleh iklan rokok. Sebagian kecil lainnya merokok karena dipengaruhi perilaku orangtua dan saudara yang juga merokok serta mudahnya membeli rokok.
   Mungkin karena perilaku merokok yang dipengaruhi teman mengakibatkan mereka memiliki kecenderungan mengisap merek rokok tertentu yang juga diisap temannya. Survei ini juga memperlihatkan 89 persen responden menyatakan menyukai rokok merek Sampoerna A Mild. Selebihnya mereka mengisap rokok mereka Dji Sam Soe, Gudang Garam dan Class Mild.
   Selain karena faktor diajak teman, banyaknya siswa yang merokok merek Sampoerna A Mild juga disebabkan ketertarikan mereka terhadap iklan rokok Sampoerna A Mild. Ketika ditanya iklan rokok apa yang paling menarik bagi mereka, 59 persen responden menyatakan tertarik dengan iklan yang disajikan rokok Sampoerna A Mild. Selanjutnya, iklan rokok yang paling menarik perhatian mereka adalah iklan rokok Class Mild yang dipilih 14 persen responden dan Star Mild yang dipilih 12,5 persen responden.
   Banyaknya iklan yang ditayangkan di berbagai media, baik media cetak, elektronik maupun media luar ruang tidak luput dari pengamatan siswa. Sebagian besar responden menyatakan pertama kali melihat iklan rokok di televisi, yaitu mencapai 83,6 persen. Selain itu 9,6 persen mulai mengenal iklan rokok dari spanduk dan 6,8 persen mulai mengenal iklan rokok dari bilboard atau baliho yang merupakan media luar ruang. Selaras dengan pertama kali mereka mengenal iklan rokok, iklan rokok yang ditayangkan di televisi juga dinilai sebagian besar responden, yaitu 86,6 persen sebagai iklan rokok yang paling menarik. Selebihnya bagi siswa iklan rokok yang paling menarik terlihat di baliho, spanduk dan koran.
   Informasi yang paling menarik dari survei ini adalah banyaknya siswa yang merokok menyatakan niat mereka untuk berhenti merokok, yaitu mencapai 82,7 persen responden. Sisanya 17,3 persen menyatakan masih belum tertarik menghentikan kebiasaan ini. Alasan ingin berhenti beragam, merokok mereka pandang bisa mengganggu kesehatan dan menimbulkan penyakit seperti batuk, gangguan pernafasan dan sakit paru-paru. 
   Dari survei ini terlihat gangguan kesehatan seperti gangguan pernafasan menjadi masalah kesehatan yang paling utama mereka alami. 38,5 persen responden menyatakan mengalami gangguan kesehatan seperti ini. Selebihnya, 36,5 persen responden menyatakan mengalami gangguan kesehatan berupa sakit batuk. Sebagian kecil responden mengungkapkan merokok juga menimbulkan rasa lelah dan susah tidur. Walaupun demikian, masih ada siswa merokok yang menyatakan belum mengalami gangguan kesehatan karena merokok.
   Selain karena alasan kesehatan, siswa yang ingin berhenti merokok juga memaparkan alasan ekonomis. Beberapa responden menyatakan ingin berhenti merokok karena perilaku ini telah menguras uang saku mereka. Bahkan, kata mereka, merokok sama saja dengan ’’membakar uang’’.
   Ketika banyak siswa yang ingin berhenti merokok, dari survei ini juga terlihat masih adanya siswa, khususnya perokok dari kalangan SMA yang enggan meninggalkan kebiasaan ini. 17,3 persen responden menyatakan bahwa mereka masih ingin terus menikmati asap daun tembakau ini. Alasannya pun beragam. Yang paling sederhana menurut mereka karena belum ada kemauan dan merasa belum kecanduan rokok. Namun mereka juga mengungkapkan alasan yang cukup serius. ’’Selagi rokok masih beredar di pasaran maka kami akan terus merokok,’’ kata salah satu responden mengemukakan alasannya.
   Survei ini tentu saja harus mendapat perhatian dari berbagai pihak yang berkepentingan. Karena kebiasaan merokok di kalangan siswa bukan masalah mereka sendiri, tapi sudah menjadi masalah bersama, apakah orangtua, guru, pemerintah dan termasuk kalangan industri rokok itu sendiri.
   Hasil survei ini juga menunjukkan data yang tidak berbeda jauh dengan Survei Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2004. Menurut hasil survei tersebut, terjadi peningkatan jumlah perokok yang mulai merokok di usia di bawah 19 tahun dari 69 persen pada 2001 menjadi 78 persen pada tahun 2004.
   Indonesia sendiri menempati posisi kelima sebagai negara dengan tingkat konsumsi tertinggi di dunia pada tahun 2004. Indonesia adalah negara yang persentase perokok dewasanya yang paling tinggi di Asia Tenggara. Prevalensi perokok dewasa di Indonesia pada 2007 mencapai 34,40 persen, sedangkan prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 24,5 persen pada tahun yang sama.

***
   Menanggapi banyaknya siswa tingkat SMP yang sudah merokok, Kepala Sub Dinas Pendidikan Provinsi Riau Drs Helmi D Msi mengatakan bahwa Dinas Pendidikan Riau selalu memberikan arahan kepada sekolah untuk memberlakukan larangan merokok di sekolah. Ini mulai dilakukan sejak masa orientasi siswa. 

  ‘’Kami imbau sekolah memberikan sanksi yang tegas kepada siswa perokok. Sanksi bisa dilakukan dengan tiga tingkatan, memanggil siswa, memanggil orangtua siswa dan mengeluarkan siswa dari sekolah. Sekolah memiliki bobot nilai terhadap pelanggaran yang dilakukan siswa,’’ kata Helmi yang ditemui Riau Pos di Pekanbaru, Jumat (15/8) lalu.

   Helmi menjelaskan, ada perbedaan siswa merokok di dalam sekolah dan di luar sekolah. Jika mereka merokok di luar sekolah bukan tanggung jawab sekolah tapi menjadi tanggung jawab orangtua dan masyarakat. Tapi kalau merokok di dalam sekolah akan menjadi tanggung jawab pihak sekolah. 

   Helmi mengutarakan hingga saat ini Dinas Pendidikan Provinsi Riau belum pernah mendata berapa banyak pelajar khususnya pelajar SMP yang merokok di Riau.  Dinas Pendidikan sendiri memahami jika sekolah merupakan kawasan bebas rokok. Agar sekolah bisa terus bersih dari asap rokok, Helmi meminta pihak sekolah kembali melihat trias UKS, yaitu tiga usaha kesehatan sekolah yang meliputi pendidikan sehat, pelayanan kesehatan dan lingkungan sekolah sehat. ’’Jika ini disosialisasikan di sekolah maka lingkungan sehat di sekolah akan terwujud,’’ papar Helmi lebih jauh.

   Helmi berpendapat selama ini Dinas Pendidikan Provinsi Riau sudah gencar melakukan sosialisasi larangan merokok di sekolah. Hanya saja sosialisasi tidak pernah dilakukan langsung ke sekolah. Tapi dilakukan dengan memanggil guru. 

   ’’Kami perkirakan masih sedikit siswa SMP yang menjadi perokok, namun kami selalu mengimbau larangan merokok di sekolah. Kita melakukan sosialisasi melalui kegiatan seperti workshop pembinaan OSIS dan OSIS diharapkan mampu menyampaikan sosialiasi ke siswa di sekolah. Ke depan kami juga akan membuat leaflet atau brosur agar siswa tidak merokok,’’ ujar Helmi.

   Lebih lanjut Helmi mengutarakan bahwa Dinas Pendidikan Riau juga turut memantau iklan-iklan di sekolah. Namun belum pernah ditemukan adanya iklan rokok yang dipasang di dalam sekolah. ’’Di sekolah belum kita temukan tapi kalau di sekitar sekolah tidak bisa kita larang. Sekolah yang terletak dengan lapangan besar yang ada even yang disponsori industri rokok tak bisa kita larang. Kita melarang pihak rokok jika berpromosi di sekolah,’’ urai dia lagi.

   Sekolah sendiri, kata dia, tidak sepenuhnya lepas dari industri rokok. Hal ini terlihat dari adanya bantuan dalam bentuk beasiswa dari sebuah industri rokok. PT HM Sampoerna melalui Sampoerna Foundation sejak lima tahun terakhir telah memberikan beasiswa kepada siswa tingkat SD hingga SMA di seluruh kabupaten dan kota di Riau

   Bagi Dinas Pendidikan Riau bantuan seperti ini tidak masalah karena bertujuan untuk pengembangan SDM. ’’Kami berterima kasih atas bantuan seperti itu. Karena mereka memberikan bantuan tanpa ada kompensiasi untuk berpromosi di sekolah. Itu murni kepedulian mereka terhadap sekolah. Jumlah siswa di masing-masing kabupaten kota yang menerima bantua rata-rata 6-10 siswa untuk tingkat SMP,’’ ungkap Helmi lebih jauh.

   Menanggapi perilaku pelajar yang merokok, Kepala SMP 13 Pekanbaru Kholil, mengutarakan bahwa di sekolahnya belum pernah ditemukan adanya pelajar yang merokok. Jika di luar sekolah dia pernah menyaksikan siswa berpakaian seragam SMP sedang merokok.
   ’’Semua sekolah akan melarang siswanya merokok di sekolah. Kita membuat larangan merokok dalam bentuk tata tertib sekolah. Siswa dilarang merokok di dalam maupun di luar sekolah,’’ ujar Kholil dengan tegas.

   Sebelum memimpin salah satu SMP favorit di Pekanbaru ini, Kholil pernah menyaksikan siswa merokok di sekolah ketika dia mengajar di SMP 2 Pekanbaru. Dia juga pernah menemukan rokok di tas siswa satu sampai dua batang. 
   Ketika Kholil menemukan siswa yang demikian dia langsung memberikan sanksi. Namun sanksi yang diberikan tetap dalam pembinaan, misalnya dalam bentuk teguran dan perjanjian dengan siswa dan orangtuannya.

   Untuk meningkatkan kepedulian siswa akan larangan merokok, Kholil menuturkan sekolahnya akan terus menyosialisasikan larangan merokok. Sosialisasi kepada siswa dilakukan melalui kegiatan imtaq setiap hari Jumat. Pada hari Sabtu ada kegiatan senam dan pada saat itu juga disosialisasikan larangan dan bahaya merokok.

   Ada pemantauan  ke kantin sekolah tapi kalau di luar sekolah jarang dipantau. Di kantin sekolah dilarang menjual rokok. Apakah siswa perokok jera setelah ditegur? ’’Sebagai guru kita harus membina mereka dan jika mereka sudah menjadi pecandu rokok tentu harus kita bina pelan-pelan,’’ ungkap pria Kelahiran Rokan Hilir 7 Mei 1955 ini. 

   Promosi besar-besaran yang dilakukan industri rokok turut diwaspadai Kholil. Hingga saat ini belum pernah ada perusahaan rokok yang membantu kegiatan sekolah. 

   Namun Kholil yang sudah 32 tahun menjadi guru punya pengalaman menarik ketika bertugas di Kecamatan Pujut Kabupaten Rokan Hilir. Ketika itu perusahaan rokok yang ingin membantu baju kaos dengan merek rokok dan umbul-umbul untuk menjadi sponsor acara olahraga di sekolah. Namun permintaan itu ditolaknya dan perusahaan rokok itu pun tidak pernah lagi mendekatinya.

***
   Menanggapi hasil survei tim Research and Development Riau Pos Group tersebut, Kepala Cabang PT HM Sampoerna Pekanbaru Budi kepada Riau Pos, Jumat (26/9) di ruang kerjanya mengatakan, dalam mempromosikan produknya Sampoerna tidak pernah menawarkan rokok kepada orang yang bukan perokok. Sasaran promosi yang dilakukan perusahaan ini diarahkan kepada orang yang memang sudah menjadi perokok.

   Menurut Budi, Sampoerna tetap menjaga etika dan turut menjaga agar kalangan remaja di bawah usia 18 tahun terhindar dari perilaku merokok. Etika seperti ini bisa terlihat ketika seorang sales promotion girl (SPG) mempromosikan berbagai produk rokok yang diproduksi Sampoerna. Saat bertemu seseorang saat mempromosikan rokok sang SPG bertanya, “Apakah bapak merokok?” Jika yang ditawarkan menjawab sebagai seorang perokok maka si SPG selanjutnya menanyakan rokok merek apa yang diisap orang itu. Jika orang itu mengisap rokok dengan merek tertentu selain produk Sampoerna maka dia ditawarkan rokok sejenis yang diproduksi Sampoerna.

   Etika promosi yang demikian juga berlaku ketika SPG Sampoerna memprom
osikan rokok ke kalangan anak muda. Jika SPG ragu-ragu dengan usia anak muda itu apakah di bawah atau di atas 18 tahun maka mereka harus ditanya usianya. ‘’Etika seperti ini Sampoerna lakukan agar produk rokok yang kami tawarkan bisa tepat sasaran,’’ ujar Budi lagi.

   Lebih jauh pria yang tidak merokok ini menuturkan bahwa keinginan Sampoerna menjaga agar generasi muda jauh dari rokok juga dilakukan saat berlangsungnya pertunjukan musik yang disponsori Sampoerna. Dalam berbagai pertunjukan musik itu disebutkan bahwa tiket masuk tidak bisa ditukarkan dengan rokok ataupun merchandise Sampoerna. ”Penonton pertunjukan musik yang disponsori Sampoerna tidak bakal mendapatkan rokok gratis. Tapi kami tidak tahu apakah kebijakan seperti berlaku pada sponsor dari perusahaan rokok selain Sampoerna,’’ kata Budi membandingkan.
   Untuk menjauhkan kalangan remaja di bawah usia 18 tahun dari pengaruh iklan rokok, Sampoerna juga membuat imbauan di pintu-pintu masuk pertunjukan bahwa pertunjukan musik itu ditujukan bagi kalangan yang berusia di atas 18 tahun. Kebijakan seperti ini, papar Budi, sudah dilakukan Sampoerna sejak tiga tahun terakhir.

   Ketika ditanya tentang hasil survei Research and Development Riau Pos Group yang menyebutkan 89 persen siswa perokok di enam sekolah di Pekanbaru mengisap rokok merek Sampoerna A Mild, Budi tidak banyak memberika tanggapan. ”Saya tak bisa memberikan tanggapan. Kami hanya menjual produk dan jika diterima oleh masyarakat maka kami ucapkan terima kasih. Kami juga tidak secara spesifik masuk ke kalangan pelajar di sekolah,’’ ungkap Budi lebih jauh.

   Ditegaskannya, Sampoerna malahan tidak pernah mempromosikan produk mereka ke kalangan pelajar. Karena kebijakan seperti ini memang tidak diperbolehkan oleh pemerintah melalui PP No. 91 yang melarang mempromosikan rokok untuk kalangan usia di bawah 18 tahun. 

   Walaupun berusaha melindungi remaja dari jangkauan promosi rokok, namun Budi juga memaparkan bahwa gaya promosi rokok yang diproduksi Sampoerna, khususnya Sampoerna A Mild lebih mengakomodir anak muda. Di mata Budi, iklan Sampoerna A Mild melambangkan sikap anak muda yang energik dan dinamis dan bisa mengekspresikan kebebasan.
   Di contohkan slogan iklan Sampoerna A Mild yang berbunyi, ”Habis gelap tak pernah terang”. Melalui iklan ini Sampoerna A Mild ingin anak muda bisa mengartikannya dengan cara masing-masing, dan Sampoerna A Mild tidak mengklaim bahwa ini yang benar dan itu salah. Demikian juga dengan tag line iklan rokok Sampoerna Hijau yang terkenal dengan ”Asyiknya rame-rame.” ”Iklan seperti ini ingin menyampaikan pentingnya kebersamaan,’’ papar Budi.

Kepedulian Orangtua
   Perilaku siswa yang merokok turut menjadi perhatian serius dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Pekanbaru. Ketua KPAID Pekanbaru dr Ekmal Rusdi kepada Riau Pos di Pekanbaru, Rabu (10/9) mengutarakan bahwa siswa yang merokok sudah tergolong tinggi. Untuk itu dia berharap adanya perhatian serius dari orangtua yang mengetahui anaknya merokok.

   Ekmal berpandangan kebiasaan merokok bisa membawa pelakunya mengonsumsi narkoba. Karena, kata dia, pengguna narkoba awalnya adalah seorang perokok. ‘’Mata rantai seperti ini harus segera diputuskan,’’ ujar Ekmal yang juga mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau.

   Di mata Ekmal, anak yang merokok merupakan anak yang sudah kehilangan jati diri. Mereka juga tidak lagi memiliki kepribadian dan jiwanya menjadi lemah. Oleh karena itu orangtua dan guru mereka harus menegaskan kepada anak-anak mereka bahwa merokok bukanlah lambang kejantan sebagaimana yang sering dijadikan alasan anak untuk merokok.

   ‘’Banyak anak yang sering mencari jalan keluar dengan merokok ketika menghadapi masalah. Jika ini yang terjadi berarti mereka tidak dewasa. Anak yang merokok akan terganggu jiwanya, bukan justru menjadi dewasa,’’ ujarnya mengemukakan pendapat.

   Pernyataan seperti inilah yang sering dikemukakan Ekmal ketika memberikan penyuluhan terhadap siswa di sekolah di berbagai kesempatan. Sejak dilantik pada 1 Agustus 2007 lampau KPAID Pekanbaru sudah sering memberikan penyuluhan tentang bahaya merokok bagi anak khususnya kalangan siswa. Penyuluhan dilakukan secara bertahap mulai kepada kepala sekolah dan selanjutnya kepada siswa di sekolah.

   Tentang perkembangan lebih jauh terhadap perilaku siswa merokok KPAID Pekanbaru belum pernah melakukan pendataan. Namun yang dilakukan masih sebatas penyuluhan dan sosialiasi tentang bahaya merokok.
    ‘’Ke depan KPAID Pekanbaru memang memiliki keinginan untuk mendata siswa yang menjadi perokok. Namun saat ini kami masih sebatas melakukan penyuluhan tentang bahaya merokok bagi siswa di sekolah,’’ ujar dia lebih jauh.*


*Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Pagi Riau Pos edisi Ahad 12 Oktober 2008. Tulisan ini juga berhasil terpilih sebagai Pemenang Kedua “Penghargaan Karya Jurnalistik tentang Anak 2008” yang diselenggarakan AJI-Unicef.

Komentar